Arahan pelestarian bangunan dan lingkungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pelestarian secara fisik dan pelestarian secara non fisik. Arahan pelestarian secara fisik, terdiri dari teknik-teknik pelestarian yang sudah dikenal luas, seperti preservasi, konservasi, renovasi, dan sebagainya. Sementara itu arahan pelestarian secara non fisik merupakan upaya pelestarian yang bersifat ekonomi, sosial, dan hukum. Penjelasan mengenai masing-masing arahan pelestarian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Attoe dalam Dewi 2008: 63).
Pelestarian Fisik
Pelestarian bangunan yang bersifat fisik dapat dibagi dalam dua cara, yaitu penggunaan kembali yang adaptif dan petunjuk pelestarian
a. Penggunaan kembali yang adaptif
Bangunan-bangunan yang telah dipakai lebih lama daripada pemakaian aslinya serta tidak dilindungi, masih mempunyai kemungkinan berkembang melalui pemakaian kembali adaptif, misalnya: bekas gudang menjadi tempat perbelanjaan, bekas tempat pembuatan bir menjadi museum kesenian. Cara ini diimplementasikan melalui pemakaian kembali adaptif bangunan kuno dengan fungsi baru yang dapat ditunjang tindakan perubahan fisik. Pertimbangan yang dapat dijadikan dasar dalam memutuskan fungsi yang dinilai sesuai untuk sebuah bangunan yang dilestarikan, yaitu sebagai berikut (Ross dalam Dewi 2008: 63):
- Apakah pemanfaatan ruang sekarang dari bangunan masih dapat dilakukan dengan atau tanpa modifikasi terhadap strukturnya?
-Apakah struktur bangunan cukup kuat? Jika tidak, bagian apa yang rapuh dan pemanfaatan apakah yang sesuai untuk keadaan demikian?
- Fungsi lain apakah yang sesuai dengan bangunan tersebut? Hal ini dilakukan dengan menanyakan kepada para pakar bangunan atau arsitektur mengenai fungsi apa yang dapat diterapkan dengan fisik atau struktur bangunan yang semula.
- Dana-dana apa saja yang tersedia dan apakah sesuai dengan kemungkinan hasil studi?
b. Petunjuk pelestarian
Petunjuk pelestarian berarti standar-standar khusus dalam pengubahan bangunan dan teknik pelestarian. Secara umum dikenal beberapa teknik pelestarian dalam rangka pelestarian bangunan
Tabel 1. Teknik Pelestarian Bangunan
No.
|
Jenis Pelestarian
|
Definisi
|
Standar Pengerjaan
|
Keterangan
|
1.
|
Preservasi
|
Merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakannya.
|
Tindakan yang dapat dilakukan:
§ Pemeliharaan berkala;
§ Pengecatan bangunan secara rutin;
§ Penggantian bangunan yang telah rusak/ lapuk;
§ Penambahan ornamen pada bangunan.
|
§ Secara fisik, strategi ini nyaris tidak mengakibatkan adanya perubahan atau sedikit sekali menimbulkan perubahan pada fisik bangunan (tingkat perubahan tidak ada/ sangat kecil).
§ Preservasi termasuk dalam cakupan konservasi.
§ Tergantung pada kondisi bangunan atau lingkungan yang akan dilestarikan, maka upaya preservasi biasanya disertai pula dengan upaya restorasi, dan atau rekonstruksi.
|
2.
|
Konservasi
|
Semua kegiatan pemeliharaan suatu tempat guna mempertahankan nilai budayanya, dengan tetap meanfaatkannya untuk mewadahi kegiatan yang sama dengan aslinya atau untuk kegiatan yang sama sekali baru untuk membiayai sendiri kelangsungan keberadaannya.
|
§ Kegiatan konservasi mencakup pemeliharaan sesuai kondisi setempat.
§ Konservasi suatu tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat tersebut.
|
§ Konservasi sebenarnya merupakan upaya preservasi, tetapi tetap memperlihatkan dan memanfaatkan suatu tempat untuk menampung dan mewadahi kegiatan baru, sehingga kelangsungan tempat bersangkutan dapat dibiayai sendiri dari pendapat kegiatan baru.
§ Dapat meliputi preservasi, restorasi, renovasi, rekonstruksi maupun adaptasi.
§ Secara fisik, strategi ini mengakibatkan adanya perubahan fisik pada bangunan (tingkat perubahan kecil).
|
3.
|
Replikasi (peniruan)
|
Pembangunan bangunan baru yang meniru unsur-unsur atau bentuk-bentuk bangunan lama yang sebelumnya ada tetapi sudah musnah.
|
Dapat diterapkan untuk penambahan bangunan baru di sekitar bangunan atau kawasan peninggalan sejarah, yang dilakukan dengan memberikan persyaratan khusus pada bangunan baru tersebut, yang meliputi:
§ Pembatasan tinggi, volume;
§ Garis muka bangunan;
§ Bahan bangunan, warna; dan
§ Gaya/ langgam elemen bangunannya.
|
§ Secara umum teknik ini dilakukan untuk bangunan atau kawasan peninggalan sejarah yang selalu berkembang dan disekitarnya cukup tersedia lahan untuk pembuatan bangunan tembahannya.
§ Contoh: Gedung Sate di Bandung.
|
4.
|
Renovasi (perombakan)
|
Tindakan mengubah sebagian maupun keseluruhan bangunan, terutama interior bangunan, sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut terhadap bangunan baru, konsep-konsep modern atau dalam menampung fungsi baru.
|
Cara ini biasanya dilengkapi dengan pembuatan dokumen dari bangunan lama yang dirombak, dan penyelematan terhadap beberapa bangunan dan objek – objek atau potongan-potongan (ornamen atau ciri lainnya) yang merupakan benda langka.
|
§ Upaya ini biasnya disertai dengan konservasi dan gentrifikasi suatu bangunan atau lingkungan.
§ Teknik ini dapat pula berupa perombakan bangunan atau kawasan lama yang didasarkan pada pertimbangan bahwa perombakan merupakan satu-satunya cara untuk memperpanjang umur bangunan, yaitu dengan membuat bangunan baru yang memperhatikan keserasian dengan bentuk bangunan lama di sekitarnya.
§ Contoh; Bank Perniagaan dan Bank Nasional di Kota Bandung.
|
5.
|
Rehabilitasi
|
Pengembalian kondisi bangunan yang telah rusak atau menurun, sehingga dapat berfungsi kembali seperti sedia kala.
|
Mementingkan bentuk bangunan asalnya, sehingga upaya penggantian terhadap elemen yang rusak dapat saja dilakukan dengan jenis bahan yang lain asal masih serasi dengan bahan lama yang masih ada.
|
§ Secara fisik, strategi ini mengakibatkan adanya perubahan fisik pada bangunan (tingkat perubahan sedang).
§ Dapat mencakup alih guna bangunan (adaptive reuse) utama menjadi bangunan dengan fungsi baru.
|
6.
|
Restorasi (pemugaran)
|
Upaya pengembalian kondisi suatu tempat atau fisik bangunan pada kondisi asalnya dengan membuang elemen-elemen tambahan dan memasang kembali bagian-bagian asli yang telah rusak atau menurun tanpa menambah unsur/ elemen baru ke dalamnya.
|
Teknik ini biasa dilakukan pada bangunan atau kawasan lama yang telah mengalami perubahan (kerusakan atau penambahan) dan pengganti yang sama masih tersedia serta mudah mendapatkannya.
|
§ Restorasi termasuk bentuk pelestarian yang paling konservatif.
§ Contoh: The Rock di Sydney,bekas kompleks penjara yang dijadikan kawasan pertokoan.
|
7.
|
Rekonstruksi
|
Upaya mengembalikan kondisi atau membangun kembali semirip mungkin dengan penampilan orisinil yang diketahui.
|
Teknik ini dapat berupa relokasi, yaitu membuat tiruan atau memindahkan bangunan di/ ke tempat lain yang dianggap lebih aman. Hal demikian dapat dilakukan jika bangunan yang perlu dilindungi tersebut mempunyai tingkat kepentingan tinggi untuk dilindungi.
|
§ Dalam proses rekontruksi bangunan dapat digunakan bahan baru atau lama.
§ Proses ini biasanya untuk mengadakan kembali bangunan atau kawasan yang telah sangat rusak atau bahkan yang telah hampir punah sama sekali.
|
8.
|
Adaptasi (penyesuaian)
|
Segala upaya dalam mengubah suatu tempat, untuk menyesuaikan diri dengan fungsi baru yang menggantikannya.
|
Melakukan sedikit perubahan terhadap bangunan dan kawasan peninggalan sejarah yang dilestarikan.
|
§ Cara ini biasanya sangat mempengaruhi interior bangunan.
|
9.
|
Subtitusi (pengalihfungsian bangunan)
|
Upaya mengganti fungsi bangunan bersejarah dengan status baru untuk meningkatkan kembali nilai dan fungsinya sesuai dengan kepentingan dan jamannya.
|
Teknik ini dilakukan bila bangunan/ kawasan yang akan dilestarikan mempunyai kepentingan perlindungan yang sangat tinggi, sehingga sejauh mungkin dihindarkan perubahan.
|
|
10.
|
Benefisasi
|
Upaya meningkatkan manfaat suatu bangunan bersejarah yang semula tidak menarik menjadi berfungsi untuk kepentingan hidup manusia baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian, periwisata dan rekreasi.
|
|
§ Dapat dilakukan dalam bentuk penggunaan untuk perpustakaan, museum atau pendidikan yang sesuai dengan sejarah dan bentuk bangunannya.
|
11.
|
Perlindungan wajah bangunan
|
Metode yang dilakukan bila ciri utama dari bangunan lama yang perlu dilestarikan terletak pada wajah bangunannya. Perombakan umumnya dilakukan pada bagian dalam atau belakang bangunan, sedangkan wajah bangunan tetap dipertahankan.
|
Dilakukan pada bagian dalam atau belakang bangunan, sedangkan wajah bangunan tetap dipertahankan. Hal ini terutama dilakukan jika intensitas diamsukkan pada bangunan tersebut cukup tinggi dan perubahan tidak bisa dihindarkan.
|
§ Contoh: bangunan Hotel Prenger di Jl. Asia Afrika, Bandung.
|
12.
|
Perlindungan garis cakrawala atau ketinggian bangunan
|
Upaya yang dilakukan apabila bangunan/ kawasan peninggalan sejarah yang akan diubah terletak di sekitar suatu ciri lingkungan sejak lama terbentuk di kota tersebut.
|
Dilakukan dengan membatasi ketinggian bangunan baru yang akan dibangun disekitar ciri lingkungan tersebut, sehingga tidak mengganggu pandangan kearahnya (dalam hal ini termasuk pandangan ke garis cakrawala di sekitar kawasan tersebut).
|
|
13.
|
Perlindungan objek atau potongan
|
Upaya yang dilakukan terhadap ciri utama dari bangunan yang akan dirombak atau dihancurkan, sehingga perombakan yang dilakukan masih memperlihatkan bahwa pernah ada suatu bangunan atau kawasan lama tersebut.
|
|
§ Teknik ini hanya dilakukan dalam keadaan mendesak, yaitu bila keutuhan bangunan sudah tidak dapat dipertahankan dan membahayakan keselamatan penghuninya.
|
14
|
Demolisi
|
Upaya penghancuran atau perombakan suatu lingkungan binaan yang sudah rusak atau membahayakan.
|
|
|
Sumber: Nurmala (2003: 38 – 40); Pontoh (1992: 34 – 35); Siregar (1998: 22 – 25); Setiawan (1988: 87 – 107) dalam Dewi (2008: 65-67)
Pelestarian non fisik
Secara non fisik, upaya pelestarian bangunan terdiri dari metode ekonomi, sosial, dan hukum.
a. Metode ekonomi
Menurut Attoe dalam Dewi (2008: 68), metode ekonomi dalam pelestarian bangunan dan kawasan dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Insentif pajak: Insentif pajak yang dimaksudkan dapat berupa, antara lain:
- Pengurangan tarif pajak untuk bangunan bersejarah;
- Pembebanan pajak yang dibuat berdasarkan pemanfaatan bangunan yang ada, bukan berdasarkan pemanfaatan yang paling terbaik atau ideal; dan
- Pemberian ijin investasi pada bidang rehabilitasi atau suatu pembebanan perbaikan lingkungan bersejarah untuk menggantikan bagian dari suatu pembayaran pajak
2. Subsidi: Subsidi berupa pengurangan pendapatan pemerintah untuk menunjang tindakan pemeliharaan, baik dalam bentuk pemberian kredit, bantuan maupun penurunan harga;
3. Pinjaman: Tersedianya pinjaman dari pemerintah maupun swasta dapat memperbesar peluang bagi terjadinya perlindungan lingkungan kuno. Pertambahan nilai dari bangunan dan lingkungan bersejarah dapat mengimbangi biaya peminjaman. Pinjaman dapat dikembangkan dengan bunga atau penjualan hak milik yang dijual atau diperbaiki dengan pinjaman itu; dan
4. Pengalihan hak-hak membangun (Transfer Developoment Right): Pengalihan hak membangun atau TDR adalah salah satu perangkat dalam proses perencanaan kota yang telah banyak dipakai di beberapa Negara bagian di Amerika Serikat yang dirancang untuk memberikan kompensasi kepada pemilik tanah atau bangunan yang haknya untuk mengembangkan tanah atau bangunannya dibatasi oleh peraturan-peraturan yang berlaku (Uno 1998 dalam Dewi 2008: 68).
Penerapan pengalihan hak atas KLB ini diatur oleh suatu perangkat Panduan Rancang Kota agar manifestasi fisik yang kemudian terbentuk tidak akan merusak atau mengurangi makna dari asset budaya/ historis tersebut, tetapi akan memperkuat keberadaan asset tersebut di dalam kota. Konsep TDR merupakan suatu mekanisme untuk mengendalikan desain yang inovatif dan mudah diadaptasi. Keuntungan dari konsep TDR, yaitu sebagai berikut:
- Konsep TDR memungkinkan pemilik bangunan untuk menjual hak-hak kepada yang bangunan lainnya antara luas dan pemanfaatan sesungguhnya dari bangunan tersebut. Hal ini dapat menunjang bangunan lainnya jika bangunan menurut peraturan zoning lokal. Hak-hak umumnya dipindahkan kepada bangunan baru di sekitarnya. Dengan demikian, pemilik bangunan memperoleh keuntungan karena mendapat kompensasi pertukaran hak dan melalui pajak yang rendah; dan
- TDR memberikan peluang pada pengembangan yang menyetujui untuk menggunakan hak membangun yang rendah pada suatu lokasi untuk memindahkan hak sisa ketinggian bangunannya kepada lokasi lain yang akan dibangunnya. Kedua lokasi tersebut dapat dalam berada jarak yang dekat ataupun tidak. Dalam beberapa kasus, terdapat beberapa kota yang membutuhkan kedekatan antara lokasi yang terletak dalam satu kawasan.
b. Metode sosial
Penerapan metode sosial berupa pemberian penghargaan dari pemerintah, publikasi, serta keanggotaan perkumpulan pemilik atau pengelola bangunan. Metode ini bertujuan untuk memberikan motivasi atau dorongan moral kepada pemilik atau pengelola bangunan; dan
c. Metode hukum
Menurut Attoe dalam Catanese (1992:426–428), metode hukum yang digunakan sebagai metode perlindungan bangunan yang dilestarikan, yaitu sebagai berikut:
1. Pedoman desain (design guidelines): Pedoman ini digunakan untuk mengembalikan kemungkinan terjadinya desain dan konstruksi baru yang dinilai menyimpang dari karakter bangunan atau lingkungan kuno serta berpeluang merusak karakter tersebut;
2. Zoning (penentuan wilayah): Suatu lingkungan yang telah ditetapkan sebagai lingkungan bersejarah dapat ditambahkan batasan-batasan tertentu khususnya bagi penggunaan bangunan dan konstruksi baru yang diperkenankan atau diijinkan;
3. Legal designation (perlindungan yang sah): Perlindungan yang sah ini diwujudkan dalam tiga bentuk, yaitu pendaftaran yang transparan terhadap suatu kawasan, lingkungan, bangunan serta objek yang dinilai harus dilestarikan pada tingkat nasional maupun internasional; pemeriksaan perubahan yang diusulkan pada bangunan tertentu; beberapa mekanisme pemeriksaan dalam menghentikan atau memperlambat proses perubahan; dan
4.Ownership (kepemilikan): Pedoman ini merupakan pengelolaan lingkungan maupun bangunan bersejarah (hak milik langsung dan permanen) yang dialihkan kepada suatu badan atau lembaga yang tertarik melakukan studi.
Menurut Uno (1998) dalam Dewi (2008:70), beberapa metode pelestarian non fisik yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2. Jenis Pelestarian Non Fisik
Metode
|
Jenis pelestarian
|
Metode Ekonomi
|
§ Uang kompensasi
§ Pajak rehabilitasi
§ Keringanan membayar PBB
§ Pemberian pinjaman
§ Kemudahan perijinan pengalihan hak membangun (TDR)
§ Denda materi/ penalty
|
|
|
Metode Sosial
|
§ pemberian penghargaan
§ teguran
§ keanggotaan perkumpulan pemilik/ pengelola bangunan kuno
|
|
|
Metode Hukum
|
§ Pencantuman bangunan kuno dalam daftar bangunan kuno/ bersejarah yang berkekuatan hukum
§ Ijin khusus bagi pengubahan fisik bangunan kuno/ bersejarah
§ Perjanjian yang membatasi
§ Pemulihan
§ Sanksi hukum (contoh: penjara)
§ Pihak ketiga dalam pengalihan hak kepemilikan dan perawatan bangunan
§ Penetapn area konservasi
§ Petunjuk pelestarian
|
Sumber: Uno (1998) dalam Dewi (2008: 70)
Proses perencanaan pelestarian mempunyai beberapa fase, di antaranya adalah (Zancheti & Jokilehto):
a) analisa dan penilaian;
b) persiapan dari alternatif solusinya;
c) negosiasi dan implementasi; serta
d) monitoring dan kontrol.
Kemudian ada tujuh prinsip dalam konservasi perkotaan yang berkelanjutan, yaitu :
1. merupakan sebuah proses bukan sebuah projek;
2. konservasi membutuhkan keseimbangan dalam pengembangan dan kebutuhan penghuni;
3. merupakan gabungan jangka-panjang yang berkelanjutan: sosial (= penghuni); ekonomi (= skala-kecil perusahaan setempat); budaya (= konservasi); dan ekologi (= sumber daya alam–kesadaran)
4. lingkungan hidup harus ditingkatkan melalui pro-aktif dan program yang mendukung;
5. perbaikan keadaan ekonomi penghuni merupakan bagian dari pendekatan;
6. dibutuhkan partisipasi yang luas dari stakeholders termasuk komunitas setempat; dan
7. pengembangan projek skala besar harus dihindari.
Selain itu, untuk lebih memberdayakan bangunan kuno yang dilestarikan dan dalam upaya menunjang kehidupan secara sosial-ekonomi-budaya, antara lain perlu ditunjang dengan cara-cara berikut (Attoe dalam Catanese & Snyder (1992: 426-432)):
1. Legal Protection (perlindungan hukum) dan Penalties (hukuman)
Cara ini menggunakan hukum dan peraturan untuk mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bangunan/lingkungan bersejarah. Perangkat peraturan yang dapat digunakan dalam penelitian ini di antaranya ada dua dari lima perangkat peraturan yang ada:
- Design Guidelines, merupakan pedoman untuk mengendalikan terjadinya desain dan konstruksi baru yang tidak sesuai dan merusak karakter bangunan atau lingkungan lama. Pedoman dapat berupa pengendalian terhadap ketinggian bangunan, bahan, set back, proporsi, gaya arsitektur dan lain-lain, yang pada dasarnya merupakan proposal desain yang dihasilkan dari studi terhadap karakter penambahan-penambahan baru elemen bangunan.
- Zoning, pada daerah yang telah ditentukan sebagai lingkungan bersejarah dapat diberlakukan batasan-batasan tambahan secara khusus berkaitan dengan penggunaan bangunan dan konstruksi baru yang diijinkan.
- Disinsentif, Agar perlindungan hukum di atas dapat terlaksana, perlu adanya cara disinsentif yang merupakan hukuman atau sanksi yang dikenakan bagi pelanggarnya. Bentuknya dapat berupa denda yang cukup besar, hukuman kurungan/tahanan, dan pengenaan biaya pembongkaran tidak diduga.
2. Pinjaman dan Subsidi
Dengan tersedianya pinjaman, baik dari pemerintah maupun swasta, dapat menambah peluang bagi perlindungan bangunan/lingkungan kuno. Melalui rehabilitasi dan perbaikan, nilai hak milik bangunan yang mendapatkan pinjaman akan bertambah. Pinjaman dapat dikembalikan dengan bunga atas penjualan hak milik yang dijual atau diperbaiki dengan pinjaman itu. Subsidi dapat berupa pengurangan pendapatan pemerintah untuk menunjang tindakan pemeliharaan, baik dalam bentuk pemberian kredit, bantuan maupun penurunan harga.
3. Adaptive-Reuse
Cara ini melalui upaya pemakaian kembali adaptif bangunan kuno dengan fungsi baru yang dapat ditunjang dengan tindakan perubahan fisik.
4. Sale Development Right
Dalam konteks nilai lahan perkotaan yang tinggi, bangunan bersejarah seringkali dihancurkan untuk memanfaatkan nilai lahannya bagi penggunaan lain yang lebih potensial. Untuk menghindari hal ini, potensi pengembangan lahan itu dapat dijual dan dipindahkan kepada bangunan di lahan yang lain, sehingga pemilik bangunan bersejarah bisa mendapatkan keuntungan dari potensi lahannya. Biasanya cara ini disertai dengan insentif lainnya, seperti insentif KDB-KLB dan alih hak pengembangan (transferable right of development), serta insentif pajak, penilaian pajak bangunan menurut potensinya. Bagi pemerintah kota setempat, hal ini akan menguntungkan karena dapat meningkatkan pendapatan pajak dari bangunan yang mendapatkan tambahan hak membangun. Program ini telah memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi upaya revitalisasi/adaptasi di daerah pusat-pusat kota, terutama dalam menumbuhkan minat para pengembang yang sering menjauhkan diri dari kepemilikan “struktur bersejarah”, karena tingginya biaya pemeliharaan dan terbatasnya penghasilan.
Daftar Pustaka
Attoe, W. 1989. Perlindungan Benda Bersejarah. Dalam Catanese, Anthony J. dan Snyder, James C. (Editor). Perencanaan Kota: 413-438. Jakarta: Erlangga.
Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru Bandung. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bandung: ITB
Pontoh, N.K. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori Perancangan Kota. Jurnal PWK, IV (6): 34-39.
Setiawan, A. I.1988. Identifikasi Potensi dan Kemungkinan Perlindungan terhadap Bangunan dan Kawasan Peninggalan Sejarah di Kota Bandung. Bandung: ITB.
Siregar, E. I. B. 1998. Arahan Tindakan Pelestarian Bangunan dan Kawasan Bersejarah di Kota Medan. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Bandung: ITB.
Uno. 1998. Konsep Penerapan Insentif dan Disinsentif untuk Pelestarian Bangunan. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bandung: ITB.