Sunday, November 27, 2011

Arsitektur Ramah Lingkungan Indonesia


Dunia arsitektur Indonesia patut berbangga, awal bulan Mei 2011 ini, 5 tim arsitek berhasil menjuarai kompetisi internasional arsitektur ramah lingkungan FuturArc Prize 2011. Kompetisi yang diadakan oleh Jurnal Arsitektur BCI (Building and Construction Interchange) Asia ini diikuti 500 peserta dari berbagai penjuru dunia.
Salah satu pemenang yang mendapatkan Citation Awards untuk kategori profesional adalah tim yang diketuai oleh arsitek Effan Adhiwira dari Bali beranggotakan Fian Rakhmania Arrafiani, Theresia Sjabanie Rendri, Nidia Safiana Redha Kinanti. Tim ini menang lewat karya mereka bernama Eco Culture Park. Kemenangan tim ini karena menitikberatkan pada pemberdayaan isu lokalitas material dan optimalisasi daur ulang sampah.
“Fenomena masyarakat kita yang tergila-gila mengimpor teknologi dan gaya dari negara maju menyebabkan tingginya angka jejak karbon (carbon footprint). Juga masalah pengelolaan sampah yang tak profesional, membuat kami mengangkat isu lokalitas material dan optimalisasi daur ulang sampah,” kata Effan.
Dalam tantangan FuturArc 2011 ini, terdapat syarat pembatasan area sumber material bangunan yang hanya boleh digunakan dalam radius 1.000 kilometer dari lokasi bangunan. Merasa tertantang, Effan dan kawan-kawan menyempitkan pembatasan area dalam radius 100 kilometer dari lokasi bangunan.
“Kami memberi nama Eco Culture Park, sebuah tempat berbudaya, tempat berkumpul, dan bersosialisasi. Ini sebuah galeri, tempat workhshop, teater yang ditunjang restauran dan gerai komersial. Ide pengembangan tempat ini di Bali tepatnya Pulau Serangan. Dimana daerah ini tengah dikembangkan pemerintah Bali sebagai alternatif baru pariwisata,” ujarnya.
Seperti apa ide pengembangan bangunan yang menonjolkan isu lokalitas dan optimalisasi daur ulang sampah?
1. Rammed Earth (tanah kompak) sebagai material dinding.
Rammed Earth adalah teknologi yang telah dikembangkan sejak lama, berupa lapisan dinding atau lantai yang terbuat dari beberapa lapis tanah yang dikompakkan.
2. Konstruksi bambu sebagai rangka atap.
Bambu dipilih sebagai bahan pembentuk rangka struktur atap yang organik. Bambu cukup fleksibel sekaligus kuat untuk menahan beban konstruksi. Bahan ini sangat ramah terhadap lingkungan.
3. Besi bekas sebagai tulangan dinding dan lantai.
Untuk menunjang struktur rammed earth, ditambahkan rangka besi sebagai struktur pendukung di dalamnya. Besi-besi bekas dengan mudah diperoleh di sekitar lokasi bangunan.
4. Kaca mobil bekas sebagai atap rumah kaca.
Kaca mobil bekas ternyata cukup unik, baik, serta fungsional sebagai material. Benda yang terbuat dari kaca tempered dan punya lapisan film ini apabila disusun denhan baik mampu menjadi salah satu alternatif material atap atau skylight yang menarik. Material ini bisa dengan mudah diperoleh di bengkel-bengkel mobil atau karoseri angkutan umum.
5. Sirap kaleng minuman ringan sebagai penutup atap organik.
Sirap yang terbuat dari kaleng minuman yang sudah diratakan bisa menjadi material penutup atap organik. Bentuk yang organik mengharuskan bahan penutup atap dapat dengan mudah menyesuaikan rangka atap, sirap ini dapat menjadi solusinya. Penggunaan sirap ini dapat mengurangi permasalahan sampah di tempat wisata.
6. Kolase bungkus plastik detergen dan sabun sebagai penutup atap atau shading.
Penggunaan kolase bungkus plastik dengan skala besar dapat dimanfaatkan sebagai bahan penutup atap temporer. Penggunaan sistem gulung layaknya tirai dapat juga menjadi detil arsitektur yang menarik.
Dengan rancangannya ini, Effan dan timnya mengajak masyarakat untuk memanfaatkan material sekitar dan bahan daur ulang sampah untuk mengenal dan mengembangkan budaya yang berkelanjutan.
“Membuang sampah pada tempatnya adalah hal baik. Menggunakan kembali sampah secara bijak dan cerdas adalah hal yang lebih baik lagi. Mari jadikan masa depan bumi jadi lebih baik,” ujarnya.

No comments:

Post a Comment